Jumat, 22 Oktober 2010

PENGENALAN NILAI BUDAYA, TATA KRAMA DAN ETIKA KEILMUAN


PENGENALAN NILAI BUDAYA, TATA KRAMA DAN ETIKA KEILMUAN
Oleh: Ahmad Fali Oklilas
(disampaikan pada kegiatan orientasi pengenalan pendidikan (OPDIK)
mahasiswa baru fasilkom unsri tahun akademik 2007-2008)
Tujuan
Menumbuhkan kesadaran dan pemahaman mahasiswa akan:
a. kebudayaan, nilai dan etika
b. kebudayaan kampus perguruan tinggi dan etika keilmuan
c. aturan-aturan yang berlaku di perguruan tinggi yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban mahasiwa.
Dari republika online dikutip dua penyataan penting8):
Menurut Penemu ESQ, Ary ginanjar, ”mahasiswa memiliki posisi dan peran strategis.Jika ingin mengubah bangsa ini, maka, Kita harus mengubah mahasiswa terlebih dulu.Karena mereka adalah agen perubahan”.Pernyataan ini didukung oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informasi ProfMohammad Nuh. ”......karena perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan formalterakhir yang harus ditempuh sebelum terjun ke masyarakat. Kalau perguruan tinggikeliru dalam mendidik mahasiwa, maka akan kelirulah masyarakatnya”.
Pernyataan ini didukung oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informasi ProfMohammad Nuh. ”......karena perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan formalterakhir yang harus ditempuh sebelum terjun ke masyarakat. Kalau perguruan tinggikeliru dalam mendidik mahasiwa, maka akan kelirulah masyarakatnya”.
Kebudayaan lokal dan global, nilai dan etika
Pengamat pendidikan Prof Dr Winarno Surakhmad mengungkapkan kepada Kompas diJakarta, Senin (18/9).filosofi pendidikannya sudah jelas bahwa pendidikan itu harusmampu membangun peradaban yang dapat memanusiakan manusia2).Landasan filosofi pendidikan adalah undang-undang, GBHN, dan Pancasila. Olehkarena itu, pendidikan harus dikembalikan pada kedudukannya sebagai satu usahamemanusiakan manusia. Selama ini sekolah tidak pernah ditujukan sebagai pusatpenumbuhan budaya. Tidak heran kalau pendidikan kita tidak dapat mengindonesiakananak bangsa, sehingga banyak muncul perpecahan yang merupakan akibat darikegagalan pendidikan di Indonesia2).
Apa yang menjadi hakikat pendidikan? Hakikat pendidikan dalam konteks Indonesia,bahwa pendidikan itu harus merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatanyang bisa menumbuhkan peradaban bangsa. Itu sudah runtuh, padahal sebelumnyadikatakan landasan pendidikan dan budaya kita sudah kuat. Tetapi ternyata ketikakrisis kita baru tahu bahwa itu ambruk. Inilah realitas baru yang seharusnya menjadilandasan membangun peradaban2).
Penguasaan bahasa dapat menunjukkan tingkat peradaban dan tingkat budayamanusia. Mendiknas Yahya A Muhaimin pada Seminar Nasional X Himpunan PembinaBahasa Indonesia (HPBI), di Jakarta, Rabu (27/9) mengatakan ”Kalau bahasa yangdipakai amburadul dan kasar”, demikian Mendiknas, ”orang lain dapat menganggap sipenuturnya sebagai orang yang tidak tahu unggah-ungguh (tata krama)”. "Labelisasi seperti ini merupakan sanksi sosial yang berat, terutama dalam masyarakat Jawa,"
tambahnya3).
Selanjutnya Menurut Mendiknas, peran bahasa yang paling penting adalah sebagai alat komunikasi. Dengan bahasa manusia akan mendapat kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Penguasaan bahasa yang baik akan membantu dalam mengungkapkan pikiran, sehingga maksudnya dapat dipahami3). Etika merupakan dasar kemanusiaan - petunjuk dasar bagi tingkah laku, cara pikir dan keyakinan. Tidak satu kelompok manusia pun yang hidup tanpa etika6). Sesuatu hal dalam etika yang tidak kalah pentingnya dalam dunia perguruan tinggi adalah etika berbusana. Kita sepakat bahwa mahasiswa adalah manusia dewasa sejak dia menjadi mahasiswa di perguruan tinggi, oleh karena itu mereka tidak lagi dipanggil anak atau siswa tapi dipanggil dengan sapaan saudara atau maha-siswa. Dengan
demikian mereka sudah dianggap manusia dewasa. Tapi apakah orang dewasa itu punya kebebasan sebebas-bebasnya, jawabnya adalah tidak, tetapi mereka punya kebebasan yang dilembagakan. Sebagai contoh kebebasan dalam bebusana, sekalipun bebas menentukan busana dan berpenampilan sendiri tetapi jangan melanggar etika yang berlaku di masyarakat umum. Etika berbusana terdiri dari 8 hal yaitu5):
1. Mempergunakan busana yang tidak melanggar aturan, norma, kepatutan dalam lingkungan dimana kita berada. (di kampus jangan mempergunakan pakaian yang terbuka/terlihat aurat atau anggota tubuh yang seharusnya ditutupi).
2. Bisa mengikuti mode, tapi tetap harus sesuai acara, sesuai waktu, sesuai tempat
3. Hindari menggunakan pakaian yang terlalu mencolok atau menarik perhatian orang, terutama di tempat umum (misl, di kampus)
4. Hindari busana yang membuat anda sulit bergerak/melangkah
5. Hindari aksesoris yang menimbulkan bunyi-bunyi waktu anda bergerak
6. Hindari aksesoris yang menimbulkan bunyi-bunyi dan yang mudah tersangkut, karena anda akan hilir mudik dipanggung dan belakang panggung serta berdekatan dan bergesekan dengan orang lain.
7. Hindari sepatu yang tidak nyaman dan bersuara keras waktu melangkah
8. Pastikan busana anda sudah rapih, jangan membetulkan/ merapihkan sembarangan.
Kultur perguruan tinggi dan etika keilmuan
Misi perguruan tinggi adalah pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang dikenal dengan tridarma perguruan tinggi. Ketiga hal ini harus dijalankan secara seimbang. Pertanyaannya, pedulikah kita untuk menciptakan kultur akademik yang kondusif? Jika jawabannya “iya”, maka cerdaskanlah mahasiswa sejak masa Orientasi Pengenalan Kampus setiap tahunnya.
Mahasiswa sedikit sekali memiliki budaya akademis, seperti kemampuan menulis. Kebanyakan mereka justru meniru (baca: menyontek) makalah-makalah atau skripsi orang dengan metode CS2 (Comot Sana-Comot Sini). Persoalan integritas akademik (academic integrity) maupun kejujuran ilmiah (academic honesty) seakan bukan
merupakan konsideran penting. Sebagian mereka bahkan (mungkin) tidak memahami betapa pentingnya kedua nilai tersebut Akibatnya jarang dijumpai paper-paper yang orisinal dan berkualitas1)......, seandainya sejak awal-awal masa mengarungi dunia perguruan tinggi mereka sudah diperkenalkan atau diberikan pemantapan (karena sangat bisa jadi ada yang sudah dikenalkan saat SLTA) dalam pemahaman metode penulisan karya2 dalam pemahaman metode penulisan karya ilmiah dan metode penelitian dasar, bukan tidak mungkin akan lahir karya-karya ilmiah yang berbobot dan layak jual (marketable). Lebih dari itu, mereka juga akan terbiasa untuk meneliti, walaupun dalam artian penelitian yang sederhana1). Semua hal ini sangat konstruktif untuk membangun budaya akademik yang kondusif di perguruan tinggi. Sebelum menguraikan lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui apa itu sains dan etika. Definisi dari sains diambil dari Oxford English Dictionary: “A branch of study which is concerned with a connected body of demonstrated truths, orwith observed facts systematically classified and more or less colligated by being brought under general laws, and which includes trustworthy methods for the discovery of new truth within its own domain”. Apa itu etika? Webster’s New Collegiate Dictionary mendefinikannya
sebagai berikut: “1 …the discipline dealing with what is good and bad and with moral duty and obligation 2 a: a set of moral principles and values b: a theory or system of moralvalues c: the principles of conduct governing an individual or a group.”7)
Dari definisi-definisi di atas kelihatan dengan jelas bahwa sains adalah alat untuk mencari kebenaran. Dan dapat disadari untuk mencari kebenaran kita perlu strategi yang beretika. Strategi disini adalah metode ilmiah. Bagaimanapun banyak terjadi pelanggaran etika dalam penelitian saintifik, yang disebut sebagai penipuan saintifik (scientific fraud)7).
Penipuan saintifik (scientific fraud) didefinisikan sebagai usaha untuk memanipulasi fakta-fakta atau menerbitkan hasil kerja orang lain secara sengaja. Bagaimanapun, definisi penipuan saintifik tidak selalu jelas. Salah satu aspek dari penipuan saintifik adalah memanipulasi dan mengubah data. Pada tahun 1830, matematikawan dari Inggris bernama Charles Babbage menerangkan teknik manipulasi data. Di dalamnya termasuk trimming (menghapus data yang tidak cocok dengan hasil yang diharapkan)3
dan cooking (memilih data yang hanya cocok dengan hasil yang diharapkan sehingga membuat data lebih meyakinkan). Sains yang ideal adalah bahwa para ilmuwan seharusnya objektif dan melaporkan semua hasil pengamatan secara lengkap dan jujur. Bagaimanapun, ini tidak selalu ditemui dalam laporan-laporan ilmiah7).
Hasil karya ilmiah akan diakui apabila dapat diulang oleh orang lain di tempat lain dengan cara yang sama dan mendapatkan hasil yang sama (reproducible), barulah dapat diakui sebagai penemuan ilmiah. Sebagai gambaran umum, di dalam perkuliahan etika sains disamping diterangkan pentingnya etika sains juga diajarkan bagaimana menulis, melaporkan dan menganalisis data percobaan secara betul. Jika etika sains secara betul diajarkan dan diterapkan, maka kita dapat menjawab pertanyaan: Apakah aspek etika sains dapat membentuk pribadi yang jujur, disiplin, bertanggung jawab dan sportif7).
Hal ini karena ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai daya untuk memperbaiki dirinya sendiri (self correction). Hal ini sesuai dengan sifat ilmu pengetahuan yang berkembang berdasarkan pengetahuan yang telah ditemukan sebelumnya. Bagaimanapun, mentalitas yang jujur mutlak diperlukan sebagai landasan untuk mencapai kemajuan. Pengajaran etika sains kepada para mahasiswa sarjana, magister dan doktor diharapkan dapat menambah kesadaran para mahasiswa bahwa para calon sarjana, calon doktor dan calon professor harus menjunjung tinggi kejujuran. Setidaknya hal ini dapat menjadi sumbangan kecil untuk perbaikan masyarakat kita, yang sedang dihinggapi penyakit korupsi, plagiat, membeli gelar, menyontek dan lain sebagainya. Inilah tugas berat para ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang menyadari pentingnya etika sains dalam pendidikan sains dan riset di Indonesia7).
Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang berpikir. Berpikir adalah menggunakan akal budi dalam berbuat dan memutuskan sesuatu yang akan dilakukan. Mungkin ini pulalah yang tertuang dalam proses pembentukan tubuh manusia yang menempatkan kepala pada posisi paling atas dibanding hati. Kepala sebagai tempat bersemayamnya otak yang diyakini sebagai pencetus akal pikiran manusia, sedangkan hati sebagai penguak perasaan kemanusiaan. Tuhan membekalikita hati, sehingga proses berpikir kita tidak sama dengan proses berpikir mesin atau komputer. Contoh aktual tentang hal ini adalah saat pelaksanaan UAN. Nilai yang dihasilkan oleh komputer sebagai pemeriksa ujian siswa penentu dari lulus tidaknya seorang siswa. Hal ini tentu saja tidak dapat kita terima sebagai makhluk yang berpikir dan mempunyai kemanusiaan. Tanpa menilai hasil kerja siswa selama tiga tahun terakhir, tanpa menilai kondisi siswa saat mengerjakan tes, tanpa menilai lingkungan, dan tanpa menilai yang lainnya, UAN dengan "congkaknya" menjadi penentu kelulusan siswa yang sama sekali tak dikenalnya4). Berbeda dengan di perguruan tinggi dimana penentuan kelulusan suatu mata kuliah ditentukan dari 4 parameter penilaian yaitu: tugas, quis, ujian tengah semster, dan ujian akhir semester. Sedangkan untuk penentu kelulusan mahasiswa memperoleh gelar sarjana yaitu ujian komprehensif atau sidang sarjana yang diuji oleh tim penguji yang terdiri dari dua atau lebih dosen penguji. Dimana pembimbing tugas akhir juga memiliki kontribusi dalam menentukan nilai rata-rata hasil ujian tugas akhir tersebut. Hal inilah yang membedakan ilklim di perguruan tinggi dan sekolah.
Perkembangan selanjutnya, manusia berpikir menjadi manusia ilmiah. Manusia ilmiah masih jarang diwacanakan. Kata ilmiah masih terbatas pada kreatifitas yang dibuat untuk mengadakan sesuatu, apakah dalam bentuk ciptaan atau tulisan ilmiah. Apa yang dibuat atau ditulis harus sesuai dengan kejadian atau kenyataan, sehingga perlu pemikiran yang jujur. Suatu karya yang dikatakan ilmiah tetapi data yang terkumpul tidak sesuai dengan kenyataan maka karya tersebut tertolak keilmiahannya. Oleh karena itu, hakekat dari ilmiah adalah proses berpikir kapan dan dimanapun dalam berbuat dan bertindak yang semestinya sesuai kenyataan4). Kemampuan berpikir manusia akan berdampak positif kepada prilaku dan keputusan yang ilmiah. Sebenarnya, masyarakat ilmiah tidak harus muncul dari dunia akademisi, meskipun tak dapat disangkal bahwa memang yang terbanyak memperlihatkan keilmiahan dalam proses pelaksanaan tindakan, ada pada dunia akademisi. Tapi, perlu juga ditampilkan hal yang bertolak belakang dari itu, yakni jika di dunia akademik ada tindakan-tindakan yang tidak ilmiah, seperti tawuran mahasiswa atau pengerahan massa dalam proses pencalonan pimpinan kampus. Dunia pendidikan adalah dunianya masyarakat ilmiah. Nilai-nilai yang didasari oleh keilmuan menjadikan dunia pendidikan harus ilmiah. Pendidikan jelas harus bebas dari hal-hal yang mendahulukan perasaan, apalagi perasaan yang justru bukan perasaan manusiawi, tapi perasaan amoral4).
Sebenarnya sifat ilmiah adalah sifat yang jujur, sifat yang jauh dari KKN. Oleh karena itu, jika kita telah jujur yakinlah bahwa kita juga telah memiliki sifat ilmiah. Tidak dilandasi oleh kedekatan sehingga kita memberi penghargaan kepada orang. Kita beri penghargaan kepada seseorang karena memang dia pantas menerimanya sesuai indikator yang diyakini banyak pihak, meskipun jika seandainya orang tersebut adalah "musuh" kita. Meski kita diamanatkan untuk menjadi pimpinan dan meski pula diberi kekuasaan prerogatif, tidak serta merta kita menjadi seenaknya berbuat, tetapi kita harus tetap ilmiah. Pilih orang-orang yang memang berkompeten pada bidangnya untuk menduduki suatu jabatan. Kritikan tidak diasumsikan kebencian sehingga dibalas dengan tindakan refresif. Kritikan, meskipun itu salah, harus dengan bijak diartikan sebagai pengawasan terhadap tindakan kita yang kurang benar sehingga kita balas dengan kinerja yang lebih baik4).
Aspek pendidikan tidak hanya memberikan pengajaran saja kepada mahasiswa tetapi juga harus mencakup pembentukan sikap dan kepribadian, yang mana hal ini penting dalam menghadapi krisis moral bangsa Indonesia. Hadi Nur, dalam tulisannya yang berjudul etika sains dalam riset dan pendidikan tinggi di Indonesia mengungkapkan:
”........ Saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa riset dan mengajar merupakan hal yang bersifat perkalian bukan pertambahan, salah satu sifat utama yang melekat kepada seseorang yang digelari ilmuwan. Ini berarti bahwa seseorang akan nol sebagai ilmuwan jika tidak melakukan riset. Dan juga berarti akan nol sebagai ilmuwan jika tidak mengajar.”7)
Suatu pemikiran baru dalam ilmu pengetahuan yaitu eko-etika. Dasar-dasar etika kita yang baru, berakar pada dasardasar kepentingan dinamika ekologis bagi kehidupan di bumi, sehingga disebut eko-etika. Eko-etika berbeda dengan etika sejarah. Akar ekoetika
bukanlah wahyu, keyakinan ataupun filosofi, melainkan penelitian ilmiah, pengetahuan dan keserasian antara alam dan manusia. Subyek eko-etika bukanlah satu spesies tetapi berbagai komunitas yang keberadaannya saling tergantung. Wawasan kita yang selalu bertambah, menguak jalan menuju ke kehidupan manusia masa depan6). Masyarakat eko-etika bertujuan membangun suatu kondisi yang diibaratkan membangun lingkungan masyarakat seperti membangun sebuah rumaha. Suatu rumah yang berlandaskan cinta pada alam, menghargai alam, dan menambah pengetahuan tentang pola dan pengaturan alam yang sebenarnya6). Pada dasarnya manusia yang menganut etika tradisional tidak mau menerima perubahan, mereka tetap mempertahankan aturan atau etika yang telah berlaku turun temurun di masyarakatnya. Sedangkan manusia yang menganut eko-etika, mereka akan menerima aturan baru yang berlaku secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman dan dilandasi keseimbangan dan ilmu pengetahuan. Perubahan ini seperti air yang mengalir, yaitu tidak statis.
Aturan-aturan di perguruan tinggi dan hak serta kewajiban mahasiswa
para mahasiswa/i baru itu juga harus dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan akademik, misalnya sistem perkuliahan, cara menulis makalah (paper), pengenalan metodologi penelitian dasar, sistem hubungan mahasiswa dengan penasehat akademik dan sebagainya. Lebih dari itu, mereka semestinya juga diberikan pengetahuan
mengenai hak-hak dan kewajiban mereka selaku mahasiswa. Sehingga mereka mengetahui apa-apa saja aturan main yang digariskan perguruan tinggi pilihannya. Kalaupun hak mereka dilanggar, mereka mengetahui bagaimana cara menuntutnya1).
Daftar Pustaka:
1. Widyanto, Anton., ”Mencerdaskan Orientasi Pengenalan Kampus”, Serambi Online, Senin, 03 Sep 2007, 13:15:27 WIB.
2. ....., ”Jadikan Pendidikan Lembaga Memanusiakan Manusia”, Jakarta, Kompas, Selasa, 19 September 2000.
3. ….., ”MENDIKNAS : Bahasa Menunjukkan Peradaban”, Jakarta, Kompas, Kamis, 28 September 2000.
4. Salman, Muh. Syukur., ”Menjadi Manusia Ilmiah”, Homepage Pendidikan Network,13 Mei 2007.
5. Asyilla., ”Etika Berbusana”, Gugum Gumilar Blog, 30 Juni 2007.
6. Kinne, Otto., ”Kita Memerlukan Konsep Etika Baru: Eko-Etika”, Masyarakat Eko- EtikaInternasional, www.int-res.com, 3 september 2007.
7. Nur, Hadi., ”Etika Sains dalam Riset dan Pendidikan Tinggi di Indonesia”, Koran Waspada, Mei 2004.
8. ......, ”Training ESQ Mahasiswa: Untuk Masa Depan Bangsa yang Lebih Baik”, Republika online, Selasa, 10 Juli 2007
Lampiran:
TATA TERTIB MAHASISWA

http://www.ilkom.unsri.ac.id/dosen/fali/materi/Pengenalan%20nilai%20budaya%20tata%20krama%20dan%20etika%20keilmuan-fali.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar