ISEI Cabang Semarang Rubrik : Artikel |
Oleh : Taufik Hidayat Sepertinya apa yang pernah diramalkan dulu oleh para futurolog tentang sebuah 'kampung kecil dunia' benar-benar menjadi sebuah kenyataan. Dunia, kini tak lebih sebagai sebuah kampung kecil dimana umat manusia bisa saling bersua, berbagi pesan, sentuhan pikiran dan berhubungan dengan cepat tanpa membutuhkan waktu dan tenaga yang berlebihan. Kutub-kutub pemisah jarak dan waktu, seolah sudah sedemikian dekatnya sehingga disparitas atau kesenjangan yang sebelumnya melebar, kini menjadi kian sempit. Maka benar khotbah Alvin Toffler bahwa telah terjadi sebuah pergeseran dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi. Komunitas baru di masyarakat ini begitu getol memburu informasi (e-community). Dalam waktu 24 jam sehari yang sepertinya masih kurang, komunitas ini memburu sekian juta informasi yang setiap saat siap untuk di up-date. Mereka memiliki kesempatan untuk saling berbagi begitu banyak informasi di jagat raya bumi ini melalui sebuah jejaring maya yang dikenal sebagai internet. Internet adalah semacam jagat raya yang terus-menerus berkembang, memiliki geografi dan budaya sendiri. Dalam bola dunia cyber ini, berbagai orang dari penjuru dunia berkomunikasi melalui zona waktu yang berbeda tanpa harus saling bertatap muka, dan informasinya tersedia selama 24 jam sehari dari ribuan tempat. Fenomena ini begitu besar pengaruhnya, hingga kemudian muncul sebuah punctuated equlibrium dan paradigma baru bagi masyarakat 'baru' ini yaitu new economy. Dalam artian yang sederhana, new economy atau new internet economy adalah sebuah istilah yang merefleksikan berbagai macam aktivitas dengan basis internet dan teknologi informasi. Dengan term-term e(electronic)-things-nya, new economy memunculkan banyak terminologi baru di masyarakat seperti e-commerce, e-procurement, e-distribution, e-sevices, e-government, e-business, e-banking, dan lain sebagainya. Yang menarik, maraknya e-lifestyle ini sepertinya telah 'menggusur' keberadaan dan peran dari old economy yang selama ini telah ada seperti pernah dilansir Lester Thurow dalam bukunya The Future of Capitalism (1997) : ‘Capitalism,democracy and high technology dominate the world economy, in a paradoxical and incompatible changes…” . Don Tapscot, penulis The Digital Economy yang dijuluki Wakil Presiden Amerika Al Gore sebagai salah satu maha guru cyber, juga mengatakan bahwa perubahan fenomena bisnis yang terjadi pada saat sekarang ini membawa konsekuensi logis yang mengharuskan berbagai macam akivitas mau tidak mau bergabung dalam bisnis di internet. Entah di mana letak kebenarannya, namun euforia yang berkembang seolah memberi satu simpulan bahwa the new economy has changed old economy. Salah satu fenomena yang bisa membuktikan adalah banyaknya para pebisnis yang berlomba-lomba terjun di bisnis berbasis internet dan TI (teknologi informasi) atau -- meminjam istilah Benoit Marchal -- ‘migrating to e-commerce’. Namun benarkan bahwa kemunculan new economy dengan e-lifestyle-nya benar-benar telah menggantikan keberadaan dan peran old economy ? Asal Muasal Internet Jagat maya internet berawal dari sebuah proyek DARPA (Department of Defense Advanced Research Projects Agency) milik Kementerian Pertahanan Amerika Serikat di tahun 1969. Proyek eksperimen bernama ARPANET tersebut punyai misi mencoba menggali teknologi jaringan yang dapat menghubungkan para peneliti dengan berbagai sumber daya jauh seperti sistem komputer dan pangkalan data yang besar. Keberhasilan ARPANET kemudian memacu banyak bidang lain untuk membantu dan membudidayakan sejumlah jaringan lain untuk menjadi saling berhubungan. Dua puluh lima tahun kemudian, sistem ini berevolusi menjadi suatu 'organisme' yang semakin luas perkembangannya yang mencakup puluhan juta orang dan ribuan jaringan. Dalam perjalanannya kemudian, ‘organisme’ ini benar-benar luas berkembang menjadi sebuah jaringan yang kemudian dikenal sebagai internet. Dalam sebuah seminar yang pernah diselenggarakan di Jakarta, Richard Kartawijaya dari Microsoft Indonesia memberikan indikasi dimana dunia akan berubah pada 10 tahun mendatang lebih cepat dari 50 tahun terakhir. Demikian pula dalam dunia bisnis, internet menjadi katalis yang menentukan masa depan perdagangan dengan kemunculan electronic commerce (e-commerce). Menurut McKinsey & Company, e-commerce terbagi dalam tiga rantai nilai (value chain) yaitu jasa penghubung pengguna ke internet seperti internet service provider, perangkat ‘pembangun’ internet seperti web hosting dan penyedia portal serta mesin pencari (search engine) yang memungkinkan akses bisnis dengan cara business to consumer (B2C) atau business to business (B2B). Diperkirakan, B2B bakal menjadi motor penggerak pertumbuhan e-commerce di masa depan. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Forrester Research pada bulan November 1998, laju pertumbuhan e-commerce yang diawali pada tahun 1997 memberi satu simpulan bahwa model B2B jauh melampaui model B2C dari segi nilai bisnis. Forrester juga memperkirakan bahwa sebagian besar negara Asia, Amerika Selatan dan Eropa Barat akan mencapai tingkat pertumbuhan tertinggi dalam e-commerce dengan mengubah internet menjadi business engine yang lebih mengglobal. Peluang Terlepas dari kebenaran angka dan perkiraan yang ada, perkembangan dunia maya yang sedemikian pesat tersebut memunculkan banyak anggapan bahwa new economy dengan e-commerce-nya bakal menciptakan mesin uang bagi pemiliknya. Salah satu parameter yang bisa dilihat dari hal itu adalah maraknya perburuan saham-saham berbasis internet dan TI investor di seluruh dunia. Hal ini tidak lepas dari sukses dan maraknya optimisme yang dibangun oleh perusahaan-perusahaan dotcom seperti keberhasilan Yahoo! yang mampu mengungguli kapitalisasi pasar raja hiburan Time Warner hanya dalam kurun waktu kurang dari enam tahun. Selain itu, beberapa e-company lain yang mencatat kapitalisasi sangat menggiurkan diantaranya adalah America Online (AOL), eBay dan Amazon, tom.com dan Pacific CyberWork. Di Wall Street, saham-saham dotcom pernah mengalami kenaikan sedikitnya 20 % hingga 50 %. Saham-saham teknologi informasi semacam Microsoft, Yahoo, Dell Computer dan Qualcomm juga menjadi hot stock penggerak naiknya indeks harga saham di bursa Nasdaq. Gambaran yang sama juga pernah terlihat di Hong Kong. Saham perusahaan internet tom.com mengalami oversubsribed sebesar 3000 kali saat Initial Public Offering (IPO). Pada hari pertama perdagangan, harga saham milik konglomerat Li Ka-Shing ini mampu melejit hingga HK$ 7, 75 dari harga perdana HK$ 1, 78. Di Bursa Efek Jakarta, beberapa saham perusahaan publik seperti Astra Graphia (astraworld.com), Metrodata Elektronik (sentralayan.com), AGIS (agisstore.com) dan Multipolar (multipolar.com) yang disebut-sebut sebagai perusahaan berbasis TI juga memperlihatkan hal yang serupa. Bahkan isu pergantian core business Lippo Life menjadi cyber internet dan e-commerce yang belum jelas kebenarannya menyebabkan lonjakan harga yang sangat tinggi. Saat Lippo Life mengumumkan rencana ini, harga sahamnya yang pada waktu itu berada pada posisi Rp 450 dengan volume transaksi 29,5 juta unit melejit harganya pada pembukaan sesi berikutnya menjadi Rp 670 dan terus meningkat menjadi Rp 950 dengan volume transaksi 811,5 juta lembar saham. Tak heran jika kemudian para investor di hampir seluruh penjuru dunia begitu getol memburu saham-saham berbasis internet dan TI dengan harapan akan mendapatkan keuntungan yang besar dari lonjakan harga yang terjadi. Namun benarkah jika kemudian kita beranggapan bahwa kepemilikan terhadap bisnis yang berbasis internet dan TI akan selalu memberikan keuntungan seperti yang diharapkan ? Paradoks Harapan yang terlalu berlebihan terhadap perkembangan dunia internet dan TI yang sedemikian cepat dan keuntungan yang bakal diperoleh dari kepemilikan saham-saham tersebut bisa jadi justru memberikan hal yang sebaliknya. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran Perkins bersaudara dalam bukunya The Internet Bubble (1999) karena dalam ‘sejarahnya’ yang boleh dibilang masih seumur jagung, banyak terjadi saham perusahaan yang laris manis diperebutkan investor ternyata masih dalam posisi merugi dan bahkan ada yang belum mencatat record penjualan sama sekali. Jika kita cermati naik turunnya perkembangan harga saham di bursa efek dunia, roller coaster tersebut setidaknya memperlihatkan bahwa perusahaan-perusahaan dotcom memang benar-benar sedang terkoreksi dalam arti yang sebenarnya – terkecuali saham seperti Google. Berangkat dari apa yang dipaparkan diatas, agaknya kita perlu bersikap lebih bijak dan hati-hati terhadap hingar bingarnya fenomena new economy dan e-commerce. Artinya, dengan tanpa harus menafikkan keberadaan dan peran new economy, kita tidak perlu bersikap latah untuk kemudian meninggalkan paradigma-paradigma investasi ‘usang’ yang telah ada. Sebab banyaknya peluang yang muncul sama banyaknya dengan jebakan yang tersembunyi di baliknya. Teknologi selalu mempesona karena menjanjikan masa depan yang lebih mudah dan lebih cerah. Lantas bagaimana kemudian kita harus bersikap ? Warren Buffet, master of science ilmu ekonomi yang sukses sekaligus investor kodang di Wall Street, memberikan satu prinsip investasi yang sangat berharga : by a company rather than a stock rice. Maksudnya kurang lebih adalah anjuran untuk membeli saham berdasar apa yang sebenarnya ada pada perusahaan itu, dan tidak hanya sekedar melihat harga sahamnya. Atau belilah saham berdasar analisis fundamental yang mengorek isi perut perusahaan, dan bukan sekedar analisis teknikal yang lebih berdasarkan pergerakan harga saham. Murid dua maha guru Benjamin Graham dan Philip Fisher itu begitu mempercayai bahwa harga pasar dalam (jangka pendek) lebih ditentukan karena emosi para investor. Namun dalam jangka panjang, pasar akan menggambarkan fundamental perusahaan yang sebenarnya. Karena itu ia cenderung mencari nilai intrinsik (bukan harga nominal), menghindari gambling serta mengenal betul pasar tanpa mau didikte oleh mood pasar yang sedang berkembang. Bukti keberhasilan Buffet menerapkan prinsip membeli bisnis yang sederhana dan mudah dimengerti, memiliki sejarah operasi yang konsisten dan prospek jangka panjang yang baik adalah kemampuannya dalam mendapatkan keuntungan lebih dari US$ 100 miliar dengan hanya bermodal US$ 100. Prinsip dalam itu ia gunakan untuk membeli saham Washington Post, perusahaan asuransi Geico Corporation, perusahaan media Capital Cities /ABS dan Coca-Cola. Ia juga pernah membeli 2 ribu lembar saham Berkshire Hathaway dengan harga US$ 7,5 per lembar yang kemudian naik menjadi US$ 38 ribu per lembar sahamnya tiga dasawarsa kemudian. Prinsip investasi Buffet tersebut sejalan dengan pemikiran John White dalam bukunya How to Invest in Stocks and Shares yang pada intinya mengatakan bahwa sebagian besar investor bukan hanya mencari suatu cara untuk cepat kaya, namun tujuan terpenting adalah mencari pendekatan obyektif jangka panjang yang praktis dan wajar. Nasehat Buffet dan John White bisa jadi sebuah prinsip old economy yang tidak akan pernah berlaku bagi para pengikut new economy. Namun bila ditelaah lebih jauh, nasehat ini mengandung nilai yang begitu harganya bila kita kaitkan dengan maraknya perburuan terhadap saham-saham berbasis internet dan TI. Apalagi jika kita menyadari bahwa bisnis yang terkait dalam new-economy masih banyak dalam tahapan negative earnings generators. Meski dalam banyak hal kita harus mengakui bahwa perkembangan internet dan teknologi informasi akan semakin maju, namun kita juga harus menyadari bahwa agaknya terlalu dini untuk segera menjadikan new economy sebagai paramater penggerak perekonomian. Artinya, jika Buffet bisa membuktikan ‘kehebatan’ prinsip old economy, maka masih diperlukan waktu untuk bisa membuktikan apakah new economy bahwa akan menggantikan status ekonomi ‘tradisional’. Just wait and see, begitu kata orang Inggris. |
ISEI Cabang Semarang : http://www.isei-semarang.org/ Versi Online : http://www.isei-semarang.org//?pilih=lihat&id=7 |
mengumpulkan informasi yang tercecer, merangkainya kembali buat semua generasi - follow me
Jumat, 22 Oktober 2010
Internet Bubble
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar